Apa Itu Khilafah ? Dapatkah Presiden Di Sebut Khalifah ?

JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH, (JASMERAH) INSPIRATOR-RAKYAT-Tentu saja, judul artikel ini sangat tidak click bait. Pun dengan catatan kaki yang komplit, sulit memancing adanya baku hantam di kolom komentar. Bagaimanapun, konten penuh daging ini selalu layak disimak. Apalagi atas isu-isu yang berhubungan dengan Khilafah.
Perdebatan mengenai isu Khilafah bukanlah hal baru. Beberapa di antaranya adalah pendapat bahwa mendirikan Khilafah itu tidak wajib dan Islam yang tidak memiliki sistem pemerintahan yang baku.
Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A., Ph.D, pernah memberi catatan menarik,
“Wajibkah mendirikan Khilafah? Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku, presiden, perdana menteri, dll. Ada pemelintiran seakan-akan para ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata “khilafah” dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.
Masalah kepemimpinan ini simple saja: “Nabi mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin”. Tidak ada nash yang qat’i di al-Qur’an dan Hadis yang mewajibkan mendirikan SPI (baca: Khilafah ataupun Negara Islam). Yang disebut “khilafah” sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang baku.”
Meski bukan sumber hukum, namun sejarah mengajarkan kita bahwa sesungguhnya ia berulang dengan pola yang serupa, meski aktornya berbeda.
Dalam sebuah konferensi pers pada tanggal 16 Januari 1923 di İzmir, Mustafa Kemal at-Taturk mengeluarkan sebuah pernyataan yang hampir selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Nadirsyah Hosen. Kemal, berusaha menegasikan Khilafah dengan justifikasi dalil-dalil agama.
“Mengacu kepada syariat dan agama, tidak ada suatu hal yang disebut sebagai Khilafah. Sebagaimana yang anda ketahui, Nabi sendiri telah menyatakan, ‘Khilafah setelahku akan berlangsung selama 30 tahun.’ Ini adalah hadist. Jadi, ketika dikatakan bahwa ‘harus ada seorang Khalifah’, ‘Khilafah harus tetap ada’, ‘Khilafah harus diselamatkan’; tuntutan-tuntutan semacam ini justru bertentangan dengan hadist-hadist Nabi. Hal yang lain; sebagai contoh, ketika ‘Umar terpilih sebagai Khalifah, mereka (para Sahabat Nabi, pen.) memanggil ‘Umar dengan sebutan Khalifah Rasulillah. Lantas ‘Umar mengatakan, ‘aku tidak memiliki gelar demikian, dan aku tidak bisa. Tidak ada gelar yang demikian. Tidak ada yang namanya Khalifah. Kalian adalah kaum beriman, dan aku adalah pemimpin kalian.’ Juga, tatkala Nabi wafat, tidak ada yang berpikiran untuk memilih seorang Khalifah; ini adalah kepemimpinan, pemimpin (emir). Apa-apa yang selama ini dibentuk dengan nama Khilafah sejatinya adalah kepemimpinan, yang berarti hanya sekedar pemerintahan. Jadi harus dikatakan, bahwa Khilafah berarti pemerintahan.”
Memang, sebagian pernyataan Kemal seperti hadist Khilafah hanya 30 tahun dan tentang ‘Umar Bin Khattab yang digelari sebagai “pemimpin orang-orang yang beriman” (amir al-mu’minin) ada landasannya.
Namun, landasan tersebut ia distorsi demikian jauh dari makna aslinya. Kemal mengeksploitasi landasan normatif dan historis tadi untuk menjustifikasi pemisahan Islam dan politik sekaligus menegasikan Khilafah sebagai suatu yang tidak ada dalam Islam. Baginya, Khilafah hanyalah sinonim dari pemerintahan, yang berarti apapun sistem pemerintahannya, maka ia adalah Khilafah, terlepas ia menerapkan hukum Islam atau tidak.
Adanya perbedaan pendapat ini, merupakan dampak atas kaburnya definisi Khilafah dan Khalifah. Termasuk di dalamnya adalah perdebatan terkait, apakah Khilafah Umayyah, ‘Abbasiyyah, dan ‘Usmaniyyah dapat disebut sebagai Khilafah atau bukan.
DAPATKAH PRESIDEN DISEBUT SEBAGAI KHALIFAH ?
Dalam khazanah Islam, Khalifah merupakan gelar untuk pemimpin kaum Muslim seluruh dunia setelah wafatnya Rasulullah. Dalam QS al-Baqarah ayat 30, Allah berfirman,
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَاِ ذْ قَا لَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ جَا عِلٌ فِى الْاَ رْضِ خَلِيْفَةً قَا لُوْۤا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ قَا لَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu ?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.””
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)
Menurut al-Qurtubi, ayat ini merupakan hukum asal akan wajibnya mengangkat Imam dan Khalifah yang didengar dan ditaati.
Khalifah ini merupakan istilah khusus untuk menyebut wakil Allah di muka bumi yang ditugaskan untuk menjaga dan menerapkan hukum-Nya, yang bertujuan untuk mengatur perbuatan manusia dalam segala seginya, ibadah mereka, segala tata-cara hidup mereka, juga yang berhubungan dengan negara yang memang merupakan kemestian bagi masyarakat umat manusia.
Rasulullah kemudian merinci perihal Khalifah dalam beberapa hadist. Seperti, “Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidin yang diberi petunjuk (oleh Allah) setelahku, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham.”
Juga dalam hadist, “Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, maka akan digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku. Dan akan ada khulafa’ yang banyak”
Istilah khulafa’ dalam dua hadis itu adalah bentuk jamak (plural) dari kata khalifah. Seorang khalifah mempunyai tugas untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Lembaga atau institusi yang menjalankan tugas Khalifah tersebut disebut Khilafah, yang didefinisikan sebagai “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Institusi Khilafah ini kemudian dijalankan oleh Khalifah yang empat: Abu Bakr, ‘Umar Bin Al-Khattab, ‘Usman Bin Affan, ‘Ali Bin Abi Thalib, ditambah Al-Hasan Bin ‘Ali selama 6 bulan, yang seringkali kita kenal sebagai Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian (minhaj al-nubuwwah). Setelah al-Hasan, kepemimpinan umat Islam dipegang Mu’awiyah Bin Abi Sufyan di Damaskus.
Menurut al-Khamis, Mu’awiyah dapat menjalankan pemerintahan dengan begitu baik. Kepemimpinannya yang berlangsung hampir 20 tahun dirasakan oleh rakyatnya begitu aman dan sejahtera. Hanya saja, di ujung masa jabatannya, Mu’awiyah berpandangan bahwa kekuasaan harus tetap dipegang oleh anaknya, Yazid, dengan alasan agar negara tetap stabil karena dipegang oleh orang yang kuat dan dipercayainya.
Tentu saja, pada awalnya kebijakan ini tidak dapat berjalan lancar karena ditolak sebagian besar Sahabat Nabi. Ketika Marwan sebagai utusan Mu’awiyah berkhutbah di Madinah untuk meminta baiat penduduknya, ia menyampaikan, “Siapa saja yang menyelisihi Mu’awiyah (dalam perkara pengangkatan anaknya sebagai Khalifah, pen.) maka dia telah menyelisihi sunnah Abu Bakr dan ‘Umar.”
Perkataan itu langsung disela oleh salah seorang putra Abu Bakr, yakni ‘Abd Al-Rahman Bin Abi Bakr, “Justru itu adalah sunnahnya Heraklius dan Kaisar Romawi. Demi Allah, sesungguhnya Abu Bakr tidak menjadikan jabatan Khalifah untuk anaknya seorang pun, tidak pula seorang pun dari anggota keluarganya.”
Jadi, apakah kepemimpinan dinasti Umayyah dan dinasti-dinasti setelahnya, termasuk ‘Usmaniyyah, masih bisa disebut sebagai Khilafah ?
Memang, sedari awal Rasulullah sudah membedakan antara khilafah dan kekuasaan (mulk), yang dalam sejarah didominasi oleh dinasti dengan sistem putra mahkota. Terlebih lagi, dalam hadistnya yang lain Rasulullah menyampaikan, “Khilafah setelahku akan berlangsung selama 30 tahun, setelah itu akan menjadi kekuasaan (dinasti).”
Walau begitu, menurut Ibnu Khaldun, kekuasaan dinasti setelah masa Khulafa’ al-Rasyidin masih bisa disebut sebagai Khilafah, karena:
Ciri-ciri yang merupakan watak khas Khilafah tetap ada (pada dinasti-dinasti tersebut, pen.), yakni, prefensi terhadap Islam serta mazhab-mazhabnya, dan taat mengikuti jalan kebenaran…”. Apa yang dimaksud sebagai preferensi terhadap Islam itu, dapat kita lihat melalui pilar-pilar Khilafah itu sendiri, yakni kedaulatan di tangan Allah, kekuasaan di tangan umat, adanya satu Khalifah bagi seluruh dunia, serta Khalifah yang berwenang mengadopsi dan menetapkan peraturan berlandaskan syariat.
Salah satu instrumen terpenting yang menjadikan penguasa-penguasa dinasti pasca Khulafa’ Al-Rasyidin tetap disebut sebagai Khalifah adalah tetap eksisnya prosesi baiat sebagai metode khas pemilihan pemimpin dalam Islam. Tidak pernah ditemukan seorang Khalifah yang menguasai kepemimpinan negara tanpa baiat.
Pengambilan baiat bermacam-macam; kadang dari ahl al-halli wa al-‘aqdi, kadang dari seluruh masyarakat, dan kadang dari seorang syaykh al-Islam. Kadang proses pengambilannya berlangsung buruk, tapi tetap dikategorikan sebagai baiat.
Di samping itu, secara tekstual, hadis yang menyebut bahwa Khilafah hanya berlangsung selama 30 tahun bertentangan dengan hadist lain. Misalkan, seperti hadis yang diriwayatkan Jabir Bin Samurah, dimana Nabi menyebutkan bahwa sampai Hari Kiamat, umat Islam akan dipimpin oleh 12 orang Khalifah dari Quraisy. Padahal, selama masa Khulafa’ al-Rasyidin, hanya ada lima orang Khalifah termasuk Al-Hasan Bin ‘Ali.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud Nabi sebagai Khilafah yang hanya berumur 30 tahun adalah masa Khulafa’ Al-Rasyidin. Persis seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah, Khilafah Rasyidah setelahnya benar-benar berjalan selama 30 tahun, dimana kekuasaan Abu Bakr terentang selama 2 tahun (k. 632-634), ‘Umar selama 10 tahun (k. 634-644), ‘Usman selama 12 tahun (k. 644-656), ‘Ali selama 5 tahun (k. 656-661), dan digenapkan oleh kekuasaan Al-Hasan Bin ‘Ali selama enam bulan sampai Rabi’ al-Awwal tahun 41/662.
Sementara, setelah masa itu tetap dapat disebut sebagai Khilafah, walau bukan Khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah. Hingga akhirnya Khilafah diresmikan runtuh pada 1924, ia belum tegak kembali hingga hari ini. Dan kita, tentu saja juga belum kembali dipimpin oleh seorang Khalifah pun, yang tentu saja tak bisa disamakan dengan Presiden, Perdana Menteri, maupun Raja.
Sumber : Komunitas Literasi Islam
Sumber : Nadir Hosen
Editor : MUH. IKHSAN AM